Generasi Instan


Yang Instan semakin banyak dan beragam. Berawal dari mie, ikan yang dikalengkan, sampai akhirnya nyerempet juga ke bumbu makanan. Jaman sekarang, orang nggak usah repot-repot nyiapin ubo rampe buat masak opor, rendang, sayur, nasi goreng, cukup dengan beli si bumbu kemasan sachet, buka, gunting, lalu campurkan ke bahan makanan pokok, panaskan dengan api yang tinggal klik dari kompor, SELESAI saudara. Betapa mudahnya.

Mungkin karena memang gampang dan menghemat waktu dan biaya, bangsa kita jadi terbiasakan dengan pola-pola instan seperti ini. Masyarakat kita jadi pelit menggunakan sedikit nalar mereka untuk berfikir, jadi kikir pula soal penggunaan energy mereka untuk bekerja lebih banyak.

Saya jadi miris dan menyesalkan hal ini. Lebih lanjut lagi, pola hidup serba instan ini menyebabkan dampak yang lebih parah, bukan hanya sebatas pada kebiasaan dan perilaku penggunaan, tapi lebih kepada perubahan kepribadian bangsa. Yang sayangnya, saya temukan di kalangan mahasiswa.

Beberapa waktu lalu, nomer saya dicantumkan menjadi salah satu CP dalam sebuah buletin. Sederhana kerjanya : menjawab pertanyaan. Tapi ternyata tak sesederhana dan semudah itu.

Beberapa bertanya, “Mba, besok osmaru pakai apa?” saya bilang, “lihat di website resminya.” Si adik ini bertanya lagi, “lha mbak-nya udah tau kan? Apa to mba? Kasih tau, saya males buka web-nya..” (ngga Cuma satu dua orang yang ngasih tipe pertanyaan macam ini)

Beberapa lagi bertanya, “Mba nggak boleh pake jeans ya?”, saya jawab, “udah baca yang di web?”, dia jawab : SUDAH.

Hallo? Lalu, untuk apa lagi bertanya? Usut punya usut, ternyata adik yang satu ini menanyakan hal serupa ke beberapa orang, di facebook, lewat sms. Endingnya satu, keinginan mendapatkan jawaban YA, BOLEH. Hanya ingin menguatkan argumentasi dan pembenaran yang ia harapkan.

Saya jadi ngeri dan takut membayangkan generasi macam apa yang akan lahir dari rahim 2012 ini manakala pertanyaan yang diajukan berkisar seperti yang saya sebutkan di atas. Saya takut bangsa kita akan jadi bangsa yang mandul dalam melahirkan karya-karya monumental yang bercita rasa tinggi.

Bukan karya (maaf) ecek-ecek yang hanya menginginkan pengakuan dari museum rekor, tapi kemudian hilang pengaruhnya bagi bangsa ini selain melahirkan budaya konsumtif yang kian merajai panggung demokrasi.

Ah, mau mengeluhkan nasib bangsa ini dan menyalahkan lahirnya generasi instan pada siapa rasanya juga tak akan berefek apapun. Nyatanya, lahirnya generasi instan ini telah dimotori juga oleh orang-orang yang mengaku sebagai aktivis.

Sebutlah aksi.

Seringkali terjadi, saat mimbar-mimbar ilmiah hilang suaranya, kajian kontemporer sunyi pengikutnya. TAaaDAAAA…. Undangan aksi menghampiri. Ramai. Lalu gempar.

Kita jadi kehilangan nilai sakral sebuah aksi hanya karena ketidakpahaman kita soal isu yang hendak kita angkat ke jalan. Lalu aksi hanya jadi sekadar luapan emosi tanpa rumusan ‘tuntutan’ dan ‘solusi’ yang jelas. Peserta aksi? Kadang mereka ngga ngerti, yang penting hafal lirik mars mahasiswa, darah juang, selesai semua urusan.

Bah!

Generasi instan ternyata bisa lahir juga dari insan-insan cendekia yang kritis dan ‘katanya’ diharapkan. Sekali lagi saya bertanya : Buat apa?

Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan oleh agenda orang lain. gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai wacht dog.

Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar di atas itu merupakan wujud dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan masalah umat dan bangsa. (diambil dari : Manhaj Kaderisasi KAMMI)

 

Saya orang BEM. Setidaknya saya berharap begitu. bukan orang yang hanya buat gagah-gagahan saja memakai jaket bertuliskan Badan Eksekutif Mahasiswa. Yang muncul seperti spora di awal, lalu kemudian berguguran di akhir, dan dengan rasa percaya diri yang luar biasa masih berani mengatakan saya pengurus bem, Hidup Mahasiswa.

Saya orang BEM. Saya tidak akan mengatakan padamu untuk keluar saja dari BEM mengingat saya sering bilang :

AKTIVIS YANG PRAGMATIS JUGA BANYAK, NGAPAIN SIBUK MENCERCA MAHASISWA APATIS

 

Sering saya bertindak di luar batas, mencerca lembaga sendiri_meski hanya ditanggapi dengan senyuman. Saya sadar bahwa sejatinya tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan menyalahkan kegelapan, karena itu saya pantang bungkam.

Menjaga lidah itu pasti. Tapi siapa yang mau mendengar kecaman dan tuntutan dari mahasiswa ‘biasa’, kalau diawal para aktivis sendiri menaruh jarak luar biasa lebar dengan mengatakan bahwa mahasiswa yang tak berorganisasi adalah mahasiswa yang pragmatis dan apatis tanpa berkaca bahwa kebanyakan dari kita pun adalah generasi-generasi instan yang bukan hanya pragmatis dan apatis, tapi juga culas dan bermental kancil.

Semestinya kritik dan koreksi itu lahir dari pribadi-pribadi yang banyak belajar, banyak tahu, banyak mendengar, yang katanya mau mengabdi untuk rakyat.

Agaknya barang instan ini jadi momok yang kian mengkhawatirkan. Ketika semua orang berharap mendapat sesuatu dengan kilat, ekstra cepat hingga melupakan substansi yang pada dasarnya jauh lebih bermakna. Yang saya khawatirkan adalah ketika pada akhirnya, orang-orang jadi begitu terlena pada masa-masa kejayaan mahasiswa dulu hingga lupa bahwa tantangan hari ini berbeda-tak lagi seromantis zaman-zaman lalu yang sudah lapuk oleh usia

Saya sadar, saya bukanlah orang dengan segudang keahlian meskipun saya yakin bahwa Allah menciptakan saya dalam keadaan yang sebaik-baiknya sehingga saya tidak boleh sekalipun menyalahkan siapapun atas apa yang tak saya miliki. Saya iri pada mereka yang memiliki suara lantang dan berwibawa, postur badan yang tegap, serta karisma yang terpancar bahkan sebelum mereka bicara. Bahkan kadang saya berfikir ingin jadi laki-laki saja. Tapi, itu bukan tindakan ksatria. Seorang ksatria pantang mengeluhkan keadaan, pantang baginya mencerca diri. Karena sejatinya, seorang yang bisa menghargai dan menghormati segala apa yang ada pada dirinya adalah orang yang bisa menghargai orang lain.

Maka meski saya skeptis, saya bersyukur. Masih ada orang-orang seperti kalian. Meski dengan segala kritik dan caci, jangan pernah mundur. Jadikan pelecut diri untuk jadi pribadi yang lebih baik.

Wahai aktivis!!

Jangan mau jadi generasi instan yang bergerak hanya atas dasar ikut-ikutan, raihlah kefahaman dan capailah ketinggian.

Demi Tuhan yang menciptakan akal.

Atas nama ilmu pengetahuan.

JANGAN PERNAH NGAKU KALIAN PEDULI RAKYAT MISKIN, KALAU BERTEMU MEREKA PUN KALIAN TAK PERNAH

JANGAN PERNAH NGAKU KALIAN AKTIVIS PERGERAKAN, KALAU SEJARAH BANGSA INI SAJA KAU TAK MAU TAHU

Ttd

Alikta

(lahir sebagai generasi instan yang skeptis)

4 tanggapan untuk “Generasi Instan

  1. Inspiratif, tajam dan memotivasi bagi generasi yg telah kehilangan budaya, tata krama, tidak jelas bibit bebet bobotnya. Generasi yg hanya ingin dimengerti tapi gak mau ngerti

    Disukai oleh 1 orang

  2. Reblogged this on Alikta Hasnah Safitri and commented:

    Tapi siapa yang mau mendengar kecaman dan tuntutan dari mahasiswa ‘biasa’, kalau diawal para aktivis sendiri menaruh jarak luar biasa lebar dengan mengatakan bahwa mahasiswa yang tak berorganisasi adalah mahasiswa yang pragmatis dan apatis tanpa berkaca bahwa kebanyakan dari kita pun adalah generasi-generasi instan yang bukan hanya pragmatis dan apatis, tapi juga culas dan bermental kancil.

    Disukai oleh 1 orang

Aku membuka ruang kritik dan saran untuk memperbaiki kualitas diri setiap waktu, karena itu, tinggalkanlah jejak dengan memberi komentar. Terimakasih :)