Peran Cendikiawan dalam Sejarah Indonesia bersama Ust. Jazir


JOGOKARYAN (7/3)- Kalau kita berbicara mengenai peran cendekiawan muslim, mereka adalah para pemuda yang terdidik dan tercerahkan pada zamannya.

Pada 1903, para ulama dan pemikir Islam terwadahi dalam Djamiat Choir. Mereka pernah mengadakan konggres khilafah yang menghadirkan utusan khalifah dari Turki. Konggres ini menghasilkan suatu keputusan yang menyatakan bahwa haram bagi kaum muslim untuk tunduk pada penguasa kafir. Keputusan inilah yang menjadi percikan api kemerdekaan yang pertama: sebuah kesadaran dan upaya membebaskan diri dari kekuasaan kafir.

Dalam upayanya mengantisipasi perlawanan para ulama ini, pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan dalam stabulat nomor 26 yang berisi: 1. Tidak boleh lagi orang-orang asing berkunjung ke daerah Indonesia karena dianggap telah melakukan provokasi 2. Seluruh sultan, penguasa, raja-raja, dan abdi dalem di seluruh kerajaan Hindia-Belanda tidak boleh pergi haji agar tidak tercemar Pan-Islamisme. 3. Mengharuskan orang yang pulang haji untuk mencantumkan gelar di depan namanya agar mudah diawasi. 4. Orang yang pergi haji hanya diberi paspor khusus untuk haji agar tidak terpengaruh oleh pergerakan Islam. 5. Masjid-masjid tidak boleh dibangun di pusat keramaian.

Akibat tekanan politik ini, Djamiat Choir membubarkan diri, dan masing-masing pegiatnya membangun gerakan sesuai minat masing-masing.

Haji Samanhudi pada tahun 1905 melihat kenyataan di Solo bahwa industri batik dikuasai oleh orang-orang cina, sementara umat Islam hanya menjadi buruh. Ia pun membangun Sarekat Dagang Islam yang bertujuan mengembangkan ekonomi masyarakat, sebab ia meyakini apabila rakyat kuat secara ekonomi, akan kuat pula perjuangannya. Pada 1906 SDI ini dikembangkan di Bogor oleh putra bupati Tuban, Raden Mas Tirtoadisoerjo bersama MH. Thamrin. Lalu dikembangkan menjadi Sarekat Islam oleh Oemar Said Tjokroaminoto.

Pada 1912, Mas Darwis mendirikan Persarikatan Muhammadiyyah dengan teologi al-ma’un nya. Pada 1913 di Majalengka, Haji Abdul Halim mendirikan Persatuan Umat Islam (PUI) yang hingga kini masih eksis dengan ketuanya, Ahmad Heryawan. Pada 1914 terjadi pertikaian antar golongan arab di Solo karena perselisihan mengenai kebolehan seorang syarifah menikah dengan orang yang bukan syarifah. Seorang ulama mengatakan bahwa itu sah, karena mereka sekufu (sama-sama mukmin), akan tetapi fatwa ini menimbulkan perpecahan hingga akhirnya lahirlah Al Irsyad Al Islamiyah. Pada 1917 di Bandung, A Hasan mendirikan Persis. Dinilai A Hasan lah yang menginfiltrasi pemikiran Islam pada Soekarno. Pada 1912 Hasyim Ashari mendirikan Nahdatul Ulama. dan seterusnya.

Tumbuhnya banyak organisasi Islam ini merupakan simbol pembebebasan rakyat Hindia Belanda yang sifatnya kooperatif dan bergerak di bidang dakwah, sosial, dan ekonomi.

Pada 1911, mulai lahirlah gerakan politik dengan penggalangan masa yang besar. Gerakan ini dimotori oleh R.Ngabehi dengan Djawa Dwipa-nya yang menghapus bahasa bertingkat dalam masyarakat jawa (krama -> ngoko) dengan dalil bahwa semua manusia sederajat di hadapan Allah. Ini merupakan gerakan egaliter pertama di Nusantara. Maka, saat suatu ketika Soekarno hadir dalam rapat Boedi Oetomo pun ia diusir karena dianggap tidak hormat pada Mangkunegaran IV sebab menggunakan bahasa ngoko ketika berbicara.

Gagasan ini menjadi bahan pemikiran anak-anak muda yang berangkat ke luar negeri. Di Amsterdam, mereka mendirikan Indeshe Vereeniging pada 1923. Saat itu, usia mereka rata-rata 19 tahun dengan anggota Ahmad Soebardjo, Hatta, dan lain-lain. Usai mereka mengikuti mata kuliah etnografi, mereka pun mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia, sehingga nama organisasi ini berubah menjadi Perhimpunan Indonesia yang menerbitkan majalah berjudul Indonesia Merdeka pada 1924.

Gagasan ini diterima baik oleh pemuda-pemuda Indonesia yang mendirikan berbagai organisasi kepemudaan yang masih bersifat kedaerahan. Akan tetapi, pada 1925 kumpulan dari Jong Java, Jong Jakarta, Jong Sumatera ini melebur menjadi satu dan menyiapkan konggres pada 1928. Upaya mereka mencari identitas keindonesiaan ini disepakati mewujud dalam peci hitam dengan filosofi bahwa meskipun mereka menghargai akal, mereka tetap melandasi intelektualitas yang dimiliki dengan ketuhanan. Maka tak heran, saat BPUPKI merumuskan dasar negara, dari 23 usul, 18 memilih mendasarkan negara ini pada ketuhanan.

Pemkiran sekular adalah pemikiran lama orang-orang VOC sekaligus peradaban tua yang harus dibuang oleh para aktivis, pemikiran ini telah dirombak sedemikian rupa oleh anak muda yang terdidik dan terserahkan di zamannya. Bung Karno pun pernah berpesan bahwa bukan hanya rakyat Indonesia yang bertuhan, kita juga memiliki negara yang bertuhan.

Dari lintasan sejarah ini dapat kita saksikan dengan jelas bahwa mereka yang menggagas kemerdekaan Indonesia adalah para pemuda usia 19-20tahunan. Adalah kesalahan besar apabila di tahun 2014 ini kita memilih calon presiden dengan usia diatas 50 tahun. Negara bisa struk jika mempercayakannya pada orang-orang yang sudah pensiun. Daya dorong negara ini adalah anak muda.

Soekarno berusia 42 tahun saat menjadi Presiden, Hatta 5 tahun lebih muda. Sjahrir menjadi Perdana Menteri termuda di usianya yang k2 36. Soedirman menjadi panglima militer saat usianya menginjak 28 tahun. Adi Soetjipto dan kawan-kawannya menyerang pertahanan sekutu di usianya yang ke 24.

Negara kita adalah negara hebat. Cita-cita negara ini melampaui cita-cita negara-negara lain di dunia. Ini tercantum dalam UUD 1945 yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Cita-cita ini belum tercapai manakala Palestina masih dijajah Israel seperti yang terjadi hari ini.

Anak muda memiliki cita-cita besar. Tak ada kompromi dengan kekuasaan asing. Maka sumber daya milik negara haruslah digunakan untuk kemakmuran rakyat. Bukannya malah dijual untuk biaya pencitraan.

Jika negeri ini diperintah oleh orang tua, bisa jadi gawat, maka sebagai pemuda kita harus merebut peluang itu. Salah memilih orang tua! Sudah bukan masanya lagi mereka membesarkan bangsa. Bangsa ini akan kuat dengan kuatnya pertanian dan kultur maritimnya. Karena Indonesia bukan negara kontinental, maka di air dia harus berdaya, demikian pula di darat.

Kalau kita merasa bahwa di usia kita saat ini telah terlambat. Kita harus bergerak untuk menyiapkan adik-adik kita untuk menjadi Hatta  dan Natsir baru. Adik-adik kita harus menyadari sedini mungkin rasa tanggung jawab. Dengan optimisme dan kerjasama, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar. Kita masih punya waktu.

Setidaknya ada lima gelombang besar yang terjadi di dunia hari ini: 1.  Pergeseran dari barat ke timur. Saat ini empat besar ekonomi dunia di pegang oleh Cina, Inggris, Swedia, baru kemudian Amerika. 2. Tsunami Silver. Negeri lain di dunia akan runtuh karena demografisnya didominasi lansia (contoh: Spanyol dan Yunani) 3. Gelombang perubahan (village to city) mengakibatkan lahan pertanian menyempit sehingga negara mengalami kekurangan bahan pangan. Di Indonesia, 60% beras berasal dari impor. Perubahan kultur ini akan berdampak pada  kedaulatan pangan. 4. Monopoli to defisit, saat ini seluruh aset negeri diminta oleh perusahaan multinasional. 5. Ideologi keagamaan yang mulai menguat lagi.  Dari mulai minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah Islam dan menginvestasikan uangnya di perbankan syariah.

Kelima hal diatas membawa dampak yang signifikan bagi kita, sebab basis demografis Indonesia 75% nya didominasi usia pemuda 12-30 tahun. Jika semuanya tercerahkan kita akan menjadi bangsa yang besar, akan tetapi jika tidak digarap dengan baik akan menjadi beban bagi kita.

Peran utama kita bisa dilakukan dengan beberapa hal: Pertama, berpikir intelektual. Kita harus memiliki cara penyampaian gagasan yang bebeda, tidak dengan anarkis dan reaktif, akan tetapi didasarkan pada rasio yang dapat diterima secara logis dan intelektual. Kedua, kita harus berpikir konseptual. Artinya, kita memiliki konsep alternatif untuk menawarkan perubahan mendasar (revolusi yang matang), misal dengan menghadirkan tulisan yang mampu mensosialisasikan konsep guna menggerakkan masyarakat.

Carut marutnya konstitusi negara ini memerlukan penanganan dari mereka yang tidak haus syahwat kekuasaan. Maka, jangan egois, jangan hanya memikirkan diri sendiri. Kita harus berpikir untuk kepentingan orang lain. Sisihkanlah waktu yang kita miliki untuk kepentingan bangsa dan negara, sebab bangsa dan negara ini memerlukan perhatian yang besar dari kita. Kemudian, jadikanlah itu semua sebagai wujud pengabdian kita pada Allah swt.

Di akhir, saya bertanya:

SI fenomenal dengan vergaadering yang mereka gelar karena rakyat ingin mendengar apa yang mereka keluhkan disuarakan oleh golongan intelektual, sehingga mereka rela membayar iuran keanggotaan dan datang dari tempat yang jauh demi mengikuti ‘konferensi’ ini. Namun pada akhirnya, SI hancur karena friksi internal dan tekanan pemerintah. Di sisi lain, muncul ketidakpercayaan pada HOS Tjokroaminoto dari beberapa kalangan SI sendiri, termasuk H.Misbach yang juga malah menyerang Muhammadiyah karena sikap kooperatif organisasi ini pada pemerintah Hindia Belanda.

Jika kita tarik ke kondisi Solo hari ini, masih dapat kita saksikan ragam ideologis pemikiran dan gerakan Islam berkembang. Percaturan ideologis bukanlah hal yang baru lagi, termasuk juga yang terjadi di ranah intelektual, saling sindir, saling serang pun terjadi di sana. Ini dilakukan oleh orang-orang yang ‘katanya’ memperjuangkan kejayaan Islam.

Padahal, musuh bersama kita (misionaris) berkembang dengan pesat. Bagaimana kiranya sikap kita akan hal tersebut?

 Ust Jazir menjawab:

SI telah mencapai kejayaan puncaknya dengan anggotanya yang jutaan orang. Di desa, menjadi anggota, mereka merasa dihormati karena mereka dianggap sejajar. Para kaum priyayi yang sangat tinggi levelnya mau duduk lesehan bersama orang-orang, hal ini membuat mereka memiliki harapan-harapan. Di masa itu, pengaruh Tjokro sangat hebat. Simbol organisasi SI (Kepala banteng) mewakili rakyat yang tertindas. Jargonnya (jaya kuasa) membawa harapan bahwa jika mereka sukses, mereka bisa berkuasa.

Kesuksesan SI membuat pemerintah Hindia-Belanda berusaha mencari siapa yang bisa mengimbangi kekuasaan itu. Maka, komunis datang dan mendirikan ISDV. Anak muda SI mulai dikenalkan pada sosialisme yang mengarah pada komunisme.

Pada 1927, Tan Malaka mendatangi komintern dan melaporkan bahwa di Indonesia ada tiga juta anggota SI, 30% nya adalah komunis aktif, ia bertanya kebolehan komunis bekerja sama dengan umat Islam, dan hasilnya: boleh. Akan tetapi, karena komunis di Indonesia kemudian condong ke arah atheis, Tan Malaka pun keluar dari PKI.

Dinamika adalah sunatullah yang akan terjadi, gerakan Islam akan senantiasa digoncang dari kanan-kiri yang menyerang ke dalam jantung umat Islam. Saat ini, umat Islam di Solo digempur kristenisasi. Ya, memang Solo adalah peradaban tua yang menjadi pusat pertempuran ideologi, dan ini terjadi by design.

Hal yang harus dimunculkan adalah bahwa kita tidaklah memiliki perbedaan. Ikhtilaf yang terjadi hanyalah dalam bahasa, sementara substansinya sebenarnya sama. Perbedaan itu muncul karena tidak pernah adanya pertemuan, sehingga lafadznya pun berbeda. Sering-seringlah bertemu sehingga muncul kesadaran bahwa substansinya sama meskipun simbol yang dipakai berbeda.

SI dan gerakan lain di adu domba, hari ini pun demikian. Persepsi perjuangan historis ini harus kita camkan baik-baik: Apa kita mau mengulang semua itu lagi? Maka sebarkanlah kesadaran kolektif!

Serawung Aktivis : Ngelukis Kedigjayan Islam #1

(Peran Cendikiawan dalam Sejarah Indonesia bersama Ust. Jazir)

3 tanggapan untuk “Peran Cendikiawan dalam Sejarah Indonesia bersama Ust. Jazir

Tinggalkan Balasan ke yopi kristiyanto Batalkan balasan