Bibliomania


Allison Hoover Bartlett patut bangga. Novel investigasinya berjudul The Man Who Loved Books Too Much mendapat penghargaan sebagai salah satu buku terbaik tahun 2009 versi Library Journal, setelah sebelumnya artikel mengenai tokoh utama novel ini, John Gilkey, dimasukkan dalam Best American Crime Reporting tahun 2007.

John Gilkey memang sosok yang memikat. Atas dasar kecintaannya pada buku, ia menjadi pencuri buku-buku langka koleksi para agen di seluruh penjuru negeri dengan bermodal nomor kartu kredit dan telepon umum hotel. Dan, Bartlett berhasil memukau pembacanya dengan detail yang amat teliti mengenai manuskrip-manuskrip bersejarah serta humor satir untuk menarasikan kisah Gilkey.

Inspirasinya untuk mencuri buku muncul saat ia masih kanak-kanak. Bukan hanya karena alasan cinta, melainkan juga dampak memiliki buku itu terhadap dirinya. Terlahir dalam keluarga miskin membangkitkan fantasinya akan kehormatan dan penghargaan sebagai orang yang berbudaya dan terpelajar apabila ia memiliki koleksi buku langka. Ia mendapatkan buku-buku koleksinya dengan mencuri, tentu saja.

Anehnya, meskipun Gilkey sadar bahwa mencuri buku adalah tindakan ilegal, namun baginya ilegal tidak sama dengan salah. Saat ia berkali-kali ditahan oleh polisi, bukannya merasa bersalah, ia justru menyalahkan orang lain yang dianggapnya menghalanginya untuk mendapatkan itu. Gilkey adalah orang yang percaya bahwa mengoleksi amat banyak buku langka adalah ekspresi terbesar identitasnya, dan dengan cara apapun ia mendapatkannya itu bernilai adil dan benar. Seperti Bartlett, aku pun bertanya-tanya: bagaimana rasanya memandang dunia dengan cara seperti itu, merasa berhak mendapatkan semua yang diinginkan dan membenarkan cara apapun untuk meraihnya.

Namun, Gilkey ternyata pribadi yang tak sesederhana itu. Dibalik kegilaannya mengoleksi buku, ia pun sedang berupaya keras membangun citra dirinya sebagai pria terhormat. Dia mempelajari filsafat, meneliti pengarang buku, membaca sastra, bahkan menulis esai dan naskah dramanya sendiri.

Namun, buku ini tak hanya berkisah soal obsesi gila Gilkey untuk membuat perpustakaan raksasa dengan ribuan koleksi langka di rumahnya. Bartlett pun berkisah tentang Ken Sanders, seorang yang menyebut dirinya bibliodick (penjual buku yang merangkap detektif) yang memiliki obsesi besar untuk  menangkap John Gilkey lewat jaringannya di Asosiasi Pedagang Buku Amerika.

Mengesankan membaca bagaimana Bartlett meletakkan kecintaan dua orang ini pada buku dalam konteks yang lebih besar, tak hanya berkutat soal kejar mengejar antara detektif dan maling, tetapi juga mengeksplorasi secara mendalam tentang gairah terhadap buku selama berabad-abad, meskipun terkadang nyaris menyiratkan seksualitas platonian.

Kecintaan fanatik yang cukup intim ini dituliskan oleh Eugene Field dalam The Love Affairs of a Bibiliomaniac pada 1896:

“Terlalu sedikit orang yang sepertinya menyadari bahwa buku memiliki perasaan. Tetapi aku tahu sesuatu hal lebih baik dari pada orang lain, yaitu buku-bukuku mengenalku dan mencintaiku. Ketika suatu pagi aku terbangun, aku melempar pandangan ke sekeliling ruangan untuk melihat harta benda yang kucintai, dan ketika dengan gembira aku berseru kepada mereka, ‘Apa kabar teman-temanku yang baik!’ mereka akan berseri-seri dengan indah, gembira aku sudah bangun!”

Buku, bagi beberapa orang merupakan catatan pribadi satu bab kehidupan mereka. Secara fisik, ia menjadi saksi bisu pengalaman pembacanya, artefak sejarah tempat berkumpulnya kenangan, misal tentang siapa yang memberi buku itu pada kita, dimana kita saat membacanya, berapa usia kita saat asyik membuka lembar demi lembarnya, dan lain sebagainya.

Ada banyak buku yang kubaca saat kecil. Meskipun mencoba mengingatnya dengan keras, terkadang aku pun lupa, buku mana yang duluan kubaca. Namun, bagiku, buku yang paling penting (dan berharga) di masa kecilku adalah Little Women karya Alcott. Buku ini memang bukan buku pertama yang kubaca, maksudku, sebelum membaca buku ini aku telah membaca buku-buku seram RL Stine, kisah-kisah petualangan Enid Blyton, dan Trio Detektif Alferd Hitchock.

Tidak seperti kebanyakan buku yang kubaca di masa itu, yang selalu berkisah tentang sekumpulan bocah laki-laki yang hobi berpetualang, aku merasa, buku ini berkisah tentang diriku dalam tokoh Jo. Jo, seorang maniak buku yang ceplas ceplos, apa adanya, menyukai seni bermain peran, tokoh yang selalu kukagumi hingga menjadi role modelku hingga hari ini. Aku masih ingat bagaimana membuka lembar demi lembar halaman yang telah menguning di kamarku yang baru, di atas ranjang baru, dengan penataan ruang yang sesuai inginku. Kasur menghadap ke arah ruang tengah, agar bisa menonton televisi sambil tiduran dengan nyaman. Pola itu berlanjut pada adikku. Meski tak begitu gemar membaca, aku tahu bahwa adikku sangat tersentuh dengan buku Tales of The Impossible, kumpulan cerita pendek yang dihimpun oleh David Copperfield. Aku rasa, buku memang bukan hanya sebuah kendaraan yang mengantarkan isinya pada pembaca, tetapi juga pada kehidupan di saat kita tengah membacanya.

Ketika Gilkey bertemu Jo dan Faqih

Aku sedang membayangkan bagaimana jadinya bila hari ini John Gilkey bertemu dengan Jo. Apa yang akan mereka obrolkan? Koleksi buku-buku klasik yang mereka miliki? Kesepakatan bahwa Jo akan memainkan naskah drama yang ditulis Gilkey? Ah, akan lebih baik jika Profesor Bhaer turut serta dalam obrolan mereka. Mungkin, dia akan memberikan Jo dan Gilkey saran bacaan, atau memberikan bukunya secara cuma-cuma untuk Gilkey agar dia tak mencuri lagi. Bukankah Jo dan Profesor Bhaer mendidik anak-anak mereka dengan baik? Kurasa, Jo dan Bhaer bisa membujuk Gilkey untuk bertaubat.

Ah, tapi bagaimana jika Gilkey malah bertemu dengan Faqih. Apa yang akan mereka obrolkan? Mungkin, mereka akan ngobrol soal penghancuran buku yang dilakukan dari masa ke masa: pembakaran beribu koleksi kesusastraan China pada tahun 213 SM, pembakaran buku-buku sastra oleh Nazi, penenggelaman buku-buku karya para ulama Muslim di Sungai Tigris saat penyerangan ke Baghdad, pelarangan buku-buku di zaman Orde Baru, dan semakin sedikitnya buku tentang pemikiran Islam setiap tahunnya.

Faqih akan katakan bahwa semakin minimnya buku tentang pemikiran Islam merupakan pertanda kemunduran Islam. Sebab, mereka yang katakan bahwa Al Qur’an dan Hadist adalah sumber pedoman satu-satunya justru menunjukkan ketidakyakinan dan kebuntuan mereka dalam mengartikulasikan apa yang Al Qur’an dan Hadits sampaikan tentang masalah yang mereka hadapi hari ini. “We never doing any reading process and too afraid for break the streamlines..”

Gilkey akan menepuk pundak Faqih dan berkata, “Jangan khawatir, akan selalu ada kami, para kolektor buku, penyelamat peradaban, yang sedia mengumpulkan buku-buku terlarang sebagai wujud penghargaan kami terhadap ilmu pengetahuan. Sejarah sudah membuktikan. Buku-buku merangkai sebenar-benarnya kisah. Tugas kita adalah menemukan dan melakukan interpretasi secara objektif.”

Mungkin demikian.

2 tanggapan untuk “Bibliomania

  1. Dalam kajianku, menurut Bernard Lewis dalam bukunya “Apa Yang Salah”, bahkan daulah Islam di Baghdad sudah tidak peduli dengan Baitul Hikmah beserta isinya (buku-buku karya ulama) yang dibangun pada masa Harun Al Rasyid. Di zaman Abbasiyah kita bisa menemukan contoh pertama dikotomi para ulama ; ulama yang bersama negara, ulama ‘merdeka’ dan ulama yang berada di tengah-tengahnya. Itu secara geo-politik. Secara pemikiran, rasionalitas beradu kuat, iya beradu kuat, bukan berdampingan dengan nalar-nalar wahyu dari Quran dan Hadits.

    sorry sotoy, Al ;D

    Suka

Aku membuka ruang kritik dan saran untuk memperbaiki kualitas diri setiap waktu, karena itu, tinggalkanlah jejak dengan memberi komentar. Terimakasih :)