Pelajaran 4: Saling Menasehati


Beberapa hari ini, aku semakin pandai menghitung. Aku menghitung dengan cermat setiap usaha yang ku lakukan, setiap pengorbanan yang mungkin ku berikan, juga setiap butir keringat yang deras mengucur dalam setiap perjalanan. Seluruh pelajaran pertama tentang keikhlasan mulai ku abaikan. Oleh sebab lelah yang teramat, mungkin. Hanya cari perhatian saja, mungkin.

Aku memendam lelah dan ketidakikhlasan itu untuk diriku sendiri selama beberapa waktu, lalu kemarin malam aku menyerah dan membaginya pada kakakku lewat sambungan telepon.

Pagi tadi, ketakutan menghampiriku. Halus, namun terasa benar perihnya.

“Aku takut bahwa orang melihatku terlampau sibuk dan terlalu lelah, padahal sejatinya kedua hal itu tak membawa sedikit pun kemanfaatan untuk dunia dan akhiratku.

Namun, benarkah aku takut? Ataukah, aku hanya berpura-pura dihinggapi ketakutan agar aku jauh dari rasa bersalah? Agar aku tetap menjadi Sang Protagonis yang oleh orang lain selalu dipuji. Tulus? Jujur? Apa adanya? Mungkin itu benar-benar asumsi mereka yang keliru.

Soal ikhlas saja sudah begini sulitnya. Apa pula ngomong panjang lebar soal kontribusi dan pengorbanan?

Salah seorang kakak mengomentari postinganku di Line. Begini katanya:

“Kalau sibuk tapi nggak ada manfaatnya, mungkin kita cuma pengen ‘terlihat sibuk’. Kalau udah capek tapi nggak ada hasilnya, mungkin kita cuma pengen dianggap “setidaknya aku pernah berjuang”. Ada yang pengen kita curi perhatiannya. Ee, tapi percuma, nggak ada feedback.”

Komentar yang datang dari seorang plegmatis garis keras ini ku maknai dalam-dalam. Aih. Benar juga. Selama ini kita lebih ingin ‘terlihat sibuk’, ‘terlihat sudah berjuang’, padahal kita menyembunyikan lebih banyak kegagalan dan kekalahan di dalam diri. Hanya saja, kita terlampau malu untuk mengakui segala kekalahan dan kegagalan itu.

Kita ingin pemakluman. Kita ingin dianggap telah berupaya di batas maksimal kita. Kita ingin diakui. Kita ingin ……. Kita inginkan penghargaan dari manusia lebih besar dari penghargaan Tuhan yang menciptakan.

“Maka kini, mungkin dalam keterbatasan kita, bercita-cita tinggilah, kerjakan semuanya yang kau bisa sampai batas lelah menghampiri. Malam ini saat saat pegal kau rasa di punggung, ngilu di kaki, nyeri di sendi. berbaringlah.. bertafakur di ditempatmu.. dan istirahatkanlah jasadmu.. rileks.”

Nasehat ini datang di saat yang tepat. Pengirimnya adalah Mas Erick. Sekretaris Jenderal Kammi Uns. Ia kirimkan pesan itu di siang yang terik, pada seluruh BPH, saat (mungkin) kami telah begitu lelah, letih, dan tak berdaya.

Aku bersyukur bahwa Tuhan memberiku kesempatan menjadi bagian dari Kesatuan ini. Setidaknya, pesan-pesan kebaikan itu selalu hadir, menjadi penyejuk gersangnya hati yang mulai jauh dari keikhlasan..

Segala puji hanya bagi-Nya, Tuhan sekalian alam..

Satu tanggapan untuk “Pelajaran 4: Saling Menasehati

Tinggalkan Balasan ke mahisaajy Batalkan balasan