Awal November


Beberapa hari belakangan ini aku berusaha keras memahami makna dari setiap peristiwa yang telah terjadi. Dan seperti yang kuduga sebelumnya, narasiku akan pecah berkeping begitu sampai pada kata: Cinta.

Aku merasa dadaku mendadak sempit dan sesak tiap kali memikirkannya. Kita hidup di dunia yang begitu berbeda. Aku dalam benteng yang begitu angkuh, dingin, dan kokoh, bersembunyi dengan keseluruhan diriku tanpa terkecuali. Menutup diri dari dunia dan seisinya, termasuk dari cinta.

Aku hanya mampu menampakkan diriku di hadapan sedikit orang. Pada mereka yang kukenal dan kupercaya sebagai sahabat baik, segera kulepaskan topeng senyuman dan jubah keangkuhan yang secara bergantian kupakai menjelajah di luar benteng.

Belakangan ini, aku merasa jauh lebih baik, meski memang selalu ada yang tersembunyi, entah dibalik bedak kesopanan maupun lipstik pemanis kata. Meskipun memang aku pun mulai bertanya pada diri, apakah setiap orang juga memiliki ruang dalam dirinya yang tak terjelajah bahkan oleh dirinya sendiri? Apakah masing-masing dari kita selalu begulat untuk membuat diri kita ‘mengada’? Ah, apakah aku yang terlalu hiperbolik?

Aku tahu, hidup akan semakin buruk jika kita menjalani hidup ini dengan menipu diri sendiri. Melakukan hal-hal yang tak kita yakini kebenarannya, meskipun setiap orang mengamini bahwa itu adalah hal yang baik. Yah, kurasa Tuhan menghukumku dengan ingatan-ingatan yang seterang mentari, aku harus memaksa diri berdamai dari siksa kisah-kisah lalu yang manis untuk dikenang. Obrolan di sudut kampus, halaqoh di ruang-ruang ‘rahasia’, rapat-rapat di masjid kampus, diskusi kecil di sekre lembaga, sms-sms pendek yang ‘menyengat’. Betapa sulit melupakan semua.

Seringkali aku berusaha mengingkari ingatan-ingatan yang membuat dadaku seolah tercabik dan tercakar dengan garpu tumpul yang mengoyak dengan beringas, menembus setiap sekat kepongahan dan keangkuhanku, memkasaku menjerit sejadi-jadinya, mengutuki diri, berharap semuanya tak pernah terjadi, berharap aku bisa mengulang waktu yang telah terlampaui. Naif ya?

Malam Jum’at ini, sedang ada kajian akbar soal Cinta di Masjid Kampus, aku tidak datang. Aku begitu takut akan segala kenangan di masa lalu. Memang ada sedikit percik kebahagiaan mengingat rasa cinta yang begitu sakral dan tulus itu, hanya saja selalu saja ada debu yang membuat penglihatanku merabun dan air mataku jatuh bercucuran. Aku takut terluka lagi karena cinta pada kenangan, mengingat kalian yang pernah mengisi hari-hari bahagia, namun ingin segera kulupakan.

Aku membuka ruang kritik dan saran untuk memperbaiki kualitas diri setiap waktu, karena itu, tinggalkanlah jejak dengan memberi komentar. Terimakasih :)